Senin, 22 Mei 2023

HUT IGTKI-PGRI KE-73, RIRIN: "TINGKATKAN KREATIVITAS DAN KEKOMPAKAN"

22 Mei 2023


Ikatan Guru Taman Kanak-kanak Indonesia Kecamatan Pracimantoro melaksanakan peringatan hari ulang tahun IGTKI-PGRI ke-73 dengan mengadakan upacara bendera dan dilanjutkan lomba menghias tumpeng yang berlangsung di TK Aisyiyah III Pracimantoro, (22/05/2023).

Rangkaian kegiatan tersebut dihadiri oleh Pengawas TK Kecamatan Pracimantoro dan seluruh guru TK se-Kecamatan Pracimantoro yang berjumlah 96 orang. Tema HUT kali ini adalah "73 tahun IGTKI-PGRI mengabdi untuk negeri dengan menyelenggarakan Layanan Pendidikan Anak Usia Dini berkualitas melalui guru Taman Kanak-Kanak yang profesional dan bermartabat".

Acara diawali dengan upacara bendera. Ketua IGTKI-PGRI Kecamatan Pracimantoro, Ririn Kurniasih, S.Pd.AUD, selaku inspektur upacara menyampaikan sambutan Ketua Umum PP IGTKI-PGRI Pusat, Nur Sriyati, S.Pd.MM. Dalam sambutan tersebut Ketua Umum PP IGTKI-PGRI mengamanahkan agar program-program besar IGTKI didukung dan disemarakkan oleh seluruh anggota, khususnya dukungan dan semangat untuk menyukseskan Kurikulum Merdeka dan Program Transisi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) ke Sekolah Dasar (SD) yang menyenangkan.


Setelah upacara selesai, kegiatan dilanjutkan dengan lomba menghias tumpeng. Peserta lomba adalah perwakilan dari gugus TK Kecamatan Pracimantoro yang berjumlah 7 gugus. Dalam lomba ini setiap peserta akan mendapatkan Sertifikat apresiasi dan untuk juara 1, 2, 3 akan mendapatkan Tropi. Kegiatan lomba berjalan dengan meriah, setiap peserta menampilkan karya yang kreatif. Pada kesempatan ini, Ririn menyampaikan bahwa kegiatan lomba menghias tumpeng ini bertujuan untuk meningkatkan kreativitas guru dan menjalin kekompakan.



Kamis, 16 Juni 2022

3.1.a.9. Koneksi Antarmateri



Ririn Kurniasih, S.Pd.AUD

Calon Guru Penggerak Angkatan 4 Kabupaten Wonogiri

Koneksi Antar Materi Modul 3.1 Pendidikan Guru Penggerak
Pengambilan Keputusan Sebagai Pemimpin Pembelajaran



Sekolah adalah ‘institusi moral’, yang dirancang untuk mengajarkan norma-norma sosial.

Keputusan-keputusan yang diambil di sekolah akan merefleksikan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh sekolah tersebut, dan akan menjadi rujukan atau teladan bagi seluruh warga sekolah.

Pendidik adalah teladan bagi murid untuk mewujudkan profil pelajar Pancasila.

Dibutuhkan keberanian dan kepercayaan diri untuk menghadapi konsekuensi dan implikasi dari keputusan yang kita ambil karena tidak ada keputusan yang mengakomodasi seluruh kepentingan para pemangku kepentingan.



Berikut adalah Rangkuman Koneksi Antarmateri Modul 3.1 Pendidikan Guru Penggerak Pengambilan Keputusan Sebagai Pemimpin Pembelajaran.

Menurut Ki Hadjar Dewantara, maksud pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun anggota masyarakat. Pengambilan keputusan yang dilakukan guru dalam proses pembelajaran di kelas yang berpihak dan memerdekakan murid akan menjadi contoh dan tauladan bagi murid-murid untuk mulai berani mengambil keputusan-keputusan yang sesuai dengan pilihannya sendiri tanpa paksaan dan campur tangan orang lain. Diharapkan murid akan lebih nyaman untuk berkomunikasi dan menentukan pilihan keputusan bersama dengan guru , dan para guru akan lebih memperhatikan kepentingan muridnya.

Dalam pengambilan suatu keputusan, seringkali kita bersinggungan dengan prinsip-prinsip etika. Prinsip-prinsip etika sendiri berdasarkan pada nilai-nilai kebajikan universal yang disepakati dan disetujui bersama, terlepas dari latar belakang sosial, bahasa, suku bangsa, maupun agama seseorang.

Perlu diingat bahwa setiap keputusan yang kita ambil akan ada konsekuensi yang mengikutinya, oleh sebab itu setiap keputusan perlu berdasarkan pada rasa tanggung jawab, nilai-nilai kebajikan universal dan berpihak pada murid

Dalam proses coaching, seorang coach menuntun agar coachee dapat menggali, memetakan situasinya sehingga menghasilkan pemikiran atau ide-ide baru atas situasi yang sedang dihadapi. Proses coaching menekankan pada proses inkuiri yaitu kekuatan pertanyaan atau proses bertanya yg muncul dalam dialog saat coaching. Pertanyaan efektif mengaktifkan kemampuan berpikir reflektif para murid dan keterampilan bertanya mereka dalam pencarian makna dan jawaban atas situasi atau fenomena yang mereka hadapi dan jalani.

Di dalam pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran, kompetensi sosial dan emosional guru sangat dibutuhkan. Di antara kompetensi sosial emosional adalah kesadaran diri, pengelolaan diri_ mengelola emosi dan fokus pada tujuan, kesadaran sosial_empati, keterampilan berelasi dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab. Jika dalam pengambilan keputusan, guru menerapkan kompetensi sosial emosionalnya, maka keputusan yang ia ambil akan tepat.

Untuk permasalahan atau kasus yang menyangkut masalah moral atau etika, pengambilan keputusan harus mempertimbangkan nilai-nilai kebajikan universal, terutama dalam langkah penentuan nilai benar atau salah. Apabila dalam langkah ini hanya mempertimbangkan nilai yang diyakini secara pribadi maka mungkin saja keputusan yang diambil menjadi bersifat subyektif, sehingga tidak efektif. Dalam hal ini, guru dapat menerapkan nilai-nilai kolaboratif dan reflektif, yaitu meminta masukan atau saran dari orang lain tentang keputusan yang akan diambil dan merefleksikan kembali keputusan yang telah diambil.

Pengambilan keputusan yang tepat tekait kasus dilema etika yang telah dilakukan melalui 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan seharusnya akan menghasilkan keputusan yang efektif, karena telah melalui proses yang runtut dan terarah dalam mengambil dan menguji keputusan. Dengan demikian keputusan yang diambil akan mampu mengakomodasi atau memuaskan sebagian besar pihak-pihak yang terlibat. Hal ini tentu akan berdampak positif pada semua pihak dan mendukung terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman

kesulitan yang saya hadapi dalam menjalankan pengambilan keputusan terhadap kasus-kasus dilema etika adalah Kekhawatiran jika keputusan yang diambil justru berdampak tidak baik (merugikan) bagi sebagian besar suatu pihak

Keputusan yang diambil merupakan keputusan yang berpihak pada murid maka akan mempengaruhi pengajaran yang dilakukan sehingga akan memerdekakan murid. Misalnya pengambilan keputusan guru untuk melakukan proses pembelajaran yang menuntun bukan menuntut, dan memberikan kesempatan bagi murid untuk dapat mengekspresikan pemahamannya dengan berbagai cara sesuai dengan minat murid. Dengan menerapkan hal ini berarti guru telah memberikan kemerdekaan belajar bagi murid dan kemerdekaan untuk memutuskan hal baik

Ketika guru sebagai pemimpin pembelajaran melakukan pengambilan keputusan untuk melakukan pembelajaran yang berpihak pada murid, dengan menerapkan pembelajaran berdiferensiasi, memasukkan keterampilan sosial emosional dan menanamkan budaya positif, maka diharapkan murid-muridnya akan belajar dengan senang dan nyaman sehingga akan tercapai student wellbeing. Pada akhirnya nanti murid-murid akan mencapai Profil Pelajar Pancasila.

Sebagai seorang pemimpin pembelajaran, guru harus dapat mengambil keputusan yang tepat dalam berbagai kasus. Untuk dapat melakukannya, guru harus memahami berbagai hal yang berkaitan dengan hal tersebut. Di antaranya adalah filosofi pendidikan, keberpihakan pada murid, kesadaran tentang keunikan dan keberagaman murid, kompetensi sosial emosional, paradigma dalam dilema etika, prinsip-prinsip berpikir untuk menyelesaikan dilema etika dan 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan. Dalam melaksanakan proses pembelajaran, guru harus memahami kebutuhan belajar murid. Inilah pentingnya pembelajaran berdiferensiasi. Guru harus mampu mengelola kompetensi sosial dan emosional yang dimiliki dalam mengambil sebuah keputusan sebagai pemimpin pembelajaran, sehingga keputusan yang diambil merupakan keputusan yang diambil dengan kesadaran penuh, dengan mempertimbangkan relasi, empati dan tanggung jawab. Ketrampilan coaching juga dibutuhkan, karena proses ini dapat digunakan untuk membantu murid mengambil keputusan yang bertanggung jawab, disamping dapat pula diterapkan pada rekan sejawat.

Selasa, 05 April 2022

2.3.a.9. Koneksi Antar Materi - Modul 2.3 - Coaching

Ririn Kurniasih, S.Pd.AUD

TK Pertiwi Sedayu I Kecamatan Pracimantoro

CGP Angkatan 4 Kabupaten Wonogiri

 

 Sebagai guru, kita selalu menjadi mentor bagi murid dengan menyampaikan pengalaman yang kita miliki. Kita juga melakukan konseling dengan murid ketika mereka datang dengan permasalahan mereka. Nah, ketika harus menghadapi murid dengan berbagai potensinya dan berupaya untuk memaksimalkan potensi tersebut, kita seyogyanya berperan sebagai seorang coach.

Mentoring

Stone (2002) mendefinisikan mentoring sebagai suatu proses dimana seorang teman, guru, pelindung, atau pembimbing yang bijak dan penolong menggunakan pengalamannya untuk membantu seseorang dalam mengatasi kesulitan dan mencegah bahaya. Sedangkan Zachary (2002) menjelaskan bahwa mentoring memindahkan pengetahuan tentang banyak hal, memfasilitasi perkembangan, mendorong pilihan yang bijak dan membantu mentee untuk membuat perubahan.

Konseling

Gibson dan Mitchell (2003) menyatakan bahwa konseling adalah hubungan bantuan antara konselor dan klien yang difokuskan pada pertumbuhan pribadi dan penyesuaian diri serta pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Sementara itu, Rogers (1942) dalam Hendrarno, dkk (2003:24), menyatakan bahwa konseling merupakan rangkaian-rangkaian kontak atau hubungan secara langsung dengan individu yang tujuannya memberikan bantuan dalam merubah sikap dan tingkah lakunya.

Coaching

sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee (Grant, 1999). Kunci pembuka potensi seseorang untuk untuk memaksimalkan kinerjanya. Coaching lebih kepada membantu seseorang untuk belajar daripada mengajarinya (Whitmore, 2003)

Coaching adalah sebuah kegiatan komunikasi pemberdayaan (empowerment) yang bertujuan membantu para coachee dalam mengembangkan potensi yang dimilikinya dalam mencari solusi dari permasalahan yang dihadapi agar hidupnya menjadi lebih efektif. Kemampuan berkomunikasi menjadi kunci dari proses coaching sebab pendekatan dan teknik yang dilakukan dalam coaching merupakan proses mendorong dari belakang sehingga coachee dapat menemukan jawaban dari apa yang dia temukan sendiri (Pramudianto, 2015).


Coaching memiliki peran yang sangat penting karena dapat digunakan untuk menggali potensi murid sekaligus mengembangkannya dengan berbagai strategi yang disepakati bersama. Proses coaching yang berhasil akan memotivasi para murid untuk menjadi lebih baik karena mereka merasakan potensi mereka tergali dan berkembang seiring dengan proses dan hasil dari coaching yang mereka telah lakukan. Dengan keterampilan coaching dalam berkomunikasi, harapannya murid kita menjadi lebih terarah dan dapat menemukan solusinya secara mandiri yang pada akhirnya dapat meningkatkan potensi mereka. Tetapi hal ini tentu tidak mudah. Terkadang kita tergoda untuk berupaya membantu permasalahan murid secara langsung dengan memberikan solusi dan nasehat.

Pada saat kita berkomunikasi dengan coachee, kemampuan sosial emosional kita sangat diperlukan. Salah satu keterampilan utama dalam coaching adalah keterampilan mendengarkan dengan aktif. Seorang coach yang baik akan mendengarkan lebih banyak dan kurang berbicara. Dalam sesi coaching kita perlu fokus bahwa pusat komunikasi adalah pada diri coachee, yakni mitra bicara kita. Dalam hal ini, seorang coach harus dapat mengesampingkan agenda pribadi atau apa yang ada dipikirannya termasuk penilaian terhadap coachee. Kita hanya perlu untuk duduk berhadapan dengan mereka dan mendengar apa yang mereka sampaikan. kemudian ajukan pertanyaan untuk mendorong lawan bicaranya menguraikan lebih lagi keyakinan atau perasaannya. Pada saat inilah diperlukan keterampilan bertanya sehingga mampu menggali lebih dalam potensi yang dimiliki oleh rekan bicara kita.

Kaitannya dengan pembelajaran berdifernsiasi, yang menganggap bahwa setiap orang itu istimewa dan memiliki perbedaan cara dan kecepatan dalam belajar sehingga guru harus mampu memberikan hak belajar yang sama kepada setiap siswa. Pendampingan khusus dengan teknik coaching dapat membantu para murid yang di anggap kesiapan belajarnya rendah dan kecepatan dalam memahami materi pelajaran.



Senin, 04 April 2022

2.2.a.9. Koneksi Antar Materi - Modul 2.2 - Pembelajaran Sosial Emosional

Ririn Kurniasih, S.Pd.AUD

TK Pertiwi Sedayu I Kecamatan Pracimantoro

CGP Angkatan 4 Kabupaten Wonogiri


Apakah kita (seorang guru) pernah merasa sulit bekerja dengan optimal, sulit berkonsentrasi saat bersama murid di kelas, merasa kurang sabar saat berkomunikasi dengan orang tua murid. Belum lagi, dengan tugas mengajar di depan kelas, mengoreksi pekerjaan murid dan memberikan umpan balik, menghadiri rapat, dan berbagai tugas sebagai wali kelas atau panitia kegiatan sekolah sudah antri untuk dikerjakan. Selain itu seorang guru juga dibutuhkan untuk mendampingi dan membimbing tumbuh kembang murid.

Selain guru, murid-murid pun mengalami situasi yang sama. Mereka dihadapkan dengan berbagai tantangan untuk dapat menyesuaikan diri dengan pertumbuhan dan perkembangan dirinya. Selain tugas-tugas akademik, mereka juga harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan fisik, hubungan dengan teman sebaya, mencapai kemandirian dan tanggung jawab diri dalam keluarga dan masyarakat, dan lain-lain.

Untuk menghadapi berbagai situasi dan tantangan yang kompleks ini, baik guru maupun murid membutuhkan berbagai bekal pengetahuan, sikap dan keterampilan agar dapat mengelola kehidupan personal maupun sosialnya.  Pembelajaran di sekolah harus dapat mendorong tumbuh kembang murid secara holistik, baik aspek kognitif, fisik, sosial dan emosional.

Pembelajaran Sosial dan Emosional adalah pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh komunitas sekolah. Proses kolaborasi ini memungkinkan anak dan orang dewasa di sekolah memperoleh dan menerapkan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif mengenai aspek sosial dan emosional, dengan tujuan:

1.    Memberikan pemahaman, penghayatan dan kemampuan untuk mengelola emosi (kesadaran diri)

2.    Menetapkan dan mencapai tujuan positif (pengelolaan diri)

3.    Merasakan dan menunjukkan empati kepada orang lain (kesadaran sosial)

4.    Membangun dan mempertahankan hubungan yang positif (keterampilan membangun relasi)

5.    Membuat keputusan yang bertanggung jawab (pengambilan keputusan yang bertanggung jawab)

Pendidikan Sosial Emosional dikembangkan menggunakan pendekatan kesadaran penuh (mindfullness). Menurut Kabat - Zinn (dalam Hawkins, 2017, hal. 15) Kesadaran penuh (mindfulness) dapat diartikan sebagai kesadaran yang muncul ketika seseorang memberikan perhatian secara sengaja pada kondisi saat sekarang dilandasi rasa ingin tahu (tanpa menghakimi) dan kebaikan (The awareness that arises when we pay attention, on purpose, in the present moment, with curiosity and kindness).

Kesadaran penuh (mindfulness) dapat dilatih dan ditumbuhkan. Artinya, kita dapat melatih kemampuan untuk memberikan perhatian yang berkualitas pada apa yang kita lakukan. Kegiatan-kegiatan seperti latihan menyadari napas (mindful breathing); latihan bergerak sadar (mindful movement), yaitu bergerak yang disertai kesadaran tentang intensi dan tujuan gerakan; latihan berjalan sadar (mindful walking) dengan menyadari gerakan tubuh saat berjalan, dan berbagai kegiatan sehari-hari yang mengasah indera (sharpening the senses) dengan melibatkan mata, telinga, hidung, indera perasa, sensori di ujung jari, dan sensori peraba kita.  Kegiatan-kegiatan di atas juga dapat diawali dengan cara yang paling sederhana yaitu dengan menyadari napas.

Salah satu latihan untuk membangun kondisi kesadaran penuh (mindfulness) adalah teknik STOP.

Stop (berhenti)

Take a deep breathe (tarik napas dalam)

Observe (amati tubuh, perasaan, dan pikiran)

Proceed (lanjutkan kegiatan)

Menurut Hawkins (2017), latihan berkesadaran penuh (mindfulness) dapat membangun keterhubungan diri sendiri (self-awareness) dengan berbagai kompetensi emosi dan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, Pada saat menghadapi kondisi menantang, misalnya pada saat seorang guru berhadapan dengan perilaku murid yang dinilai tidak disiplin, mekanisme kerja otak akan mengarahkan diri untuk berhenti, menarik napas panjang, memberikan waktu untuk memahami apa yang dirasakan diri sendiri, apa nilai-nilai diri yang diyakini, memunculkan empati untuk memahami situasi yang terjadi, mencari tahu apa yang dirasakan oleh murid dengan hadir secara penuh.  Guru akan memilih untuk bertanya pada murid tersebut untuk memahami apa yang terjadi. Respon guru yang berkesadaran penuh akan dapat membangun koneksi dan rasa percaya murid pada guru. Di sisi lain, lingkungan belajar dan suasana belajar yang kondusif akan membantu tumbuhnya kesadaran diri murid tentang perasaan, kekuatan, kelemahan, nilai-nilai yang dimiliki dengan lebih baik.

Kompetensi yang dapat dikembangakan dalam pembelajaran sosial emosional adalah:

1.    Kesadaran Diri - Pengenalan Emosi

Dengan latihan mengenali emosi dalam kesadaran penuh sebelum merespon, kita dapat meningkatkan kemampuan kita merespon secara lebih baik. Hal ini bukan hanya berdampak pada well-being diri kita, tetapi dapat membantu kita menjadi role-model bagi pengembangan kompetensi sosial dan emosional murid-murid di sekolah.

2.    Pengelolaan Diri – Mengelola Emosi dan Fokus untuk Mencapai Tujuan

Dengan latihan teknik STOP, otak terlatih untuk berpikir terlebih dahulu, merencanakan respons sehingga memungkinkan perilaku yang penuh perhatian. Hal ini dapat membantu kita untuk fokus kembali pada apa yang kita kerjakan.

3.    Kesadaran Sosial - Keterampilan Berempati

Keterampilan berempati merupakan keterampilan yang membantu seseorang memiliki hubungan yang hangat dan lebih positif dengan orang lain. Karena empati mengarahkan kita untuk mengurangi fokus hanya ke diri sendiri, melainkan juga belajar merespon orang lain.

4.    Keterampilan Berelasi – Kerja Sama dan Resolusi Konflik

Komunikasi positif yang dilandasi rasa saling menghargai akan dapat memperkuat rasa percaya dan relasi yang ada.

5.    Pengambilan Keputusan yang Bertanggung Jawab

Selain mampu membuat pilihan keputusan, seseorang yang memiliki kemampuan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab akan dapat menyikapi konsekuensi atas keputusan tersebut dengan baik, termasuk jika hasilnya tidak sesuai yang diharapkan.

Ruang lingkup pembelajaran sosial emosional:

1.    Rutin (di luar waktu belajar akademik)

2.    Terintegrasi dalam mata pelajaran (diskusi, penugasan kerja kelompok)

3.    Protokol (menjadi budaya atau aturan sekolah)

Materi Pembelajaran sosial emosional ini sangat erat kaitannya dengan pembelajaran berdiferensiasi. Dalam pembelajaran berdiferensiasi memerlukan pemahaman dari seorang guru pada karakteristik murid dan bagaimana seorang guru memetakan kemampuan siswa sesuai bakat minat mereka. Hal tersebut membuat seorang guru mengenal murid lebih mendalam secara emosional. Oleh karena itu dalam penerapannya di dalam pembelajaran guru juga tentunya dapat menerapkan kompetensi-kompetensi yang terdapat dalam pembelajaran sosial emosional dengan baik. Hal ini dapat dilihat misalnya jika menemui murid yang dinilai tidak disiplin guru tidak langsung marah namun guru dapat menerapkan kompetensi empati dan mengendalikan diri. Melalui pengenalan karakteristik murid, guru dapat menerapkan empati dengan mendengarkan alasan murid tersebut. Maka guru juga bisa menerapkan kompetensi pengambilan keputusan secara bertanggung jawab sesuai dengan alasan yang telah di kemukakan siswa tersebut, kenapa tidak disiplin. Contoh lain dalam pembelajaran berdiferensiasi dengan kompetensi sosial emosional pada murid Taman Kanak-kanak adalah pada kegiatan membilang gambar kelopak bunga sesuai dengan kebutuhan belajar kesiapan belajar (beberapa murid sudah bisa membilang 1-20, beberapa lagi baru mampu membilang 1-10) dengan lembar kerja yang berbeda namun tetap berada dalam satu meja dengan pensil warna bergantian. Hal ini telah mengajarkan kompetensi sosial emosional kesadaran sosial.

Kegiatan membilang gambar kelopak bunga sesuai dengan kesiapan belajar murid



Minggu, 03 April 2022

2.1.a.9. Koneksi Antar Materi - Modul 2.1

Pembelajaran Berdiferensiasi

Ririn Kurniasih, S.Pd.AUD

TK Pertiwi Sedayu I Kecamatan Pracimantoro

CGP Angkatan 4 Kabupaten Wonogiri

 

Menurut Tomlinson (2001: 45), Pembelajaran Berdiferensiasi adalah usaha untuk menyesuaikan proses pembelajaran di kelas untuk memenuhi kebutuhan belajar individu setiap murid. Namun demikian, pembelajaran berdiferensiasi bukanlah berarti bahwa guru harus mengajar dengan 32 cara yang berbeda untuk mengajar 32 orang murid. Bukan pula berarti bahwa guru harus memperbanyak jumlah soal untuk murid yang lebih cepat bekerja dibandingkan yang lain. Pembelajaran berdiferensiasi juga bukan berarti guru harus mengelompokkan yang pintar dengan yang pintar dan yang kurang dengan yang kurang.

Pembelajaran berdiferensiasi adalah serangkaian keputusan masuk akal (common sense) yang dibuat oleh guru yang berorientasi kepada kebutuhan murid. Keputusan-keputusan yang dibuat tersebut adalah yang terkait dengan:

1.    Kurikulum yang memiliki tujuan pembelajaran yang didefinisikan secara jelas. Jadi bukan hanya guru yang perlu jelas dengan tujuan pembelajaran, namun juga muridnya.

2.    Bagaimana guru menanggapi atau merespon kebutuhan belajar muridnya. Bagaimana ia akan menyesuaikan rencana pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan belajar murid tersebut. Misalnya, apakah ia perlu menggunakan sumber yang berbeda, cara yang berbeda, dan penugasan serta penilaian yang berbeda.

3.    Bagaimana mereka menciptakan lingkungan belajar yang “mengundang’ murid untuk belajar dan bekerja keras untuk mencapai tujuan belajar yang tinggi. Kemudian juga memastikan setiap murid di kelasnya tahu bahwa akan selalu ada dukungan untuk mereka di sepanjang prosesnya.

4.    Manajemen kelas yang efektif. Bagaimana guru menciptakan prosedur, rutinitas, metode yang memungkinkan adanya fleksibilitas. Namun juga struktur yang jelas, sehingga walaupun mungkin melakukan kegiatan yang berbeda, kelas tetap dapat berjalan secara efektif.

5.    Penilaian berkelanjutan. Bagaimana guru tersebut menggunakan informasi yang didapatkan dari proses penilaian formatif yang telah dilakukan, untuk dapat menentukan murid mana yang masih ketinggalan, atau sebaliknya, murid mana yang sudah lebih dulu mencapai tujuan belajar yang ditetapkan.

Pembelajaran berdiferensiasi haruslah berakar pada pemenuhan kebutuhan belajar murid dan bagaimana guru merespon kebutuhan belajar tersebut. Tomlinson (2001) dalam bukunya yang berjudul How to Differentiate Instruction in Mixed Ability Classroom menyampaikan bahwa kita dapat mengkategorikan kebutuhan belajar murid, paling tidak berdasarkan 3 aspek, yaitu:

1.    Kesiapan belajar (readiness) adalah kapasitas untuk mempelajari materi baru. Sebuah tugas yang mempertimbangkan tingkat kesiapan murid akan membawa murid keluar dari zona nyaman mereka, namun dengan lingkungan belajar yang tepat dan dukungan yang memadai, mereka tetap dapat menguasai materi baru tersebut. Contoh perspektif kesiapan belajar:

a)    Bersifat mendasar - Bersifat transformatif

Saat murid dihadapkan pada sebuah ide yang baru, mereka akan membutuhkan informasi pendukung yang jelas, sederhana, dan tidak bertele-tele untuk dapat memahami ide tersebut. Sebaliknya, saat murid dihadapkan pada ide-ide yang telah mereka kuasai dan pahami, tentunya mereka membutuhkan informasi yang lebih rinci dari ide tersebut. Mereka perlu melihat bagaimana ide tersebut berhubungan dengan ide-ide lain untuk menciptakan pemikiran baru.

b)    Konkret – Abstrak

Guru mungkin dapat mengukur kesiapan belajar murid dengan melihat apakah mereka masih di tingkatan perlu belajar secara konkret atau sudah siap bergerak mempelajari sesuatu yang lebih abstrak.

c)    Sederhana - Kompleks

Beberapa murid mungkin perlu bekerja dengan materi lebih sederhana dengan satu abstraksi pada satu waktu, yang lain mungkin bisa menangani kerumitan berbagai abstraksi pada satu waktu.

d)    Terstruktur - Open Ended

Kadang-kadang murid perlu menyelesaikan tugas yang ditata dengan cukup baik untuk mereka, namun di waktu lain murid mungkin siap menjelajah dan menggunakan kreativitas mereka.

e)    Tergantung (dependent) - Mandiri (Independent)

Beberapa murid mungkin akan siap untuk kemandirian yang lebih awal daripada yang lain.

f)     Lambat – Cepat

Beberapa murid dengan kemampuan yang baik dalam suatu mata pelajaran mungkin perlu bergerak cepat melalui materi yang telah ia kuasai atau sedikit menantang. Tetapi di lain waktu, murid yang sama mungkin akan membutuhkan lebih banyak waktu daripada yang lain untuk mempelajari topik yang lain.

2.    Minat merupakan suatu keadaan mental yang menghasilkan respons terarah kepada suatu situasi atau objek tertentu yang menyenangkan dan memberikan kepuasan diri. Seperti juga kita orang dewasa, murid juga memiliki minat sendiri. Minat setiap murid tentunya akan berbeda-beda. Pembelajaran berbasis minat seharusnya tidak hanya dapat menarik dan memperluas minat murid yang sudah ada, tetapi juga dapat membantu mereka menemukan minat baru.

3.    Profil Belajar Murid mengacu pada cara-cara bagaimana kita sebagai individu paling baik belajar. Sebagai guru, kadang-kadang kita secara tidak sengaja cenderung memilih gaya belajar yang sesuai dengan gaya belajar kita sendiri, padahal kita tahu setiap anak memiliki profil belajar sendiri. Profil belajar murid terkait dengan banyak faktor, diantaranya adalah:

a)    Preferensi terhadap lingkungan belajar, contohnya: mungkin ada anak yang tidak dapat belajar di ruangan yang terlalu dingin, terlalu bising, terlalu terang, dsb.

b)    Pengaruh Budaya: santai - terstruktur, pendiam - ekspresif, personal - impersonal.

c)    Preferensi gaya belajar. Secara umum gaya belajar ada tiga, yaitu:

      1) visual: belajar dengan melihat (misalnya melalui materi yang berupa gambar, menampilkan diagram, power point, catatan, peta, graphic organizer);

      2) auditori: belajar dengan mendengar (misalnya mendengarkan penjelasan guru, membaca dengan keras, mendengarkan pendapat saat berdiskusi, mendengarkan musik);

      3) kinestetik: belajar sambil melakukan (misalnya bergerak dan meregangkan tubuh, kegiatan hands on, dsb)

Perlu diperhatikan bahwa mengidentifikasi atau memetakan kebutuhan belajar murid, tidak selalu harus melibatkan sebuah kegiatan yang rumit. Guru yang memperhatikan dengan seksama hasil penilaian, perilaku murid atau terbiasa mendengarkan dengan baik murid-muridnya biasanya akan dengan mudah mengetahui kebutuhan belajar murid-muridnya.

Alasan Mengapa Pembelajaran Berdiferensiasi Dapat Berhasil:

1.    Pembelajaran Berdiferensiasi lebih bersifat proaktif. Guru akan selalu berasumsi bahwa murid yang berbeda memiliki kebutuhan yang berbeda dan secara proaktif merencanakan pembelajaran yang menyediakan berbagai cara untuk mengekspresikan dan mencapai tujuan pembelajaran.

2.    Pembelajaran Berdiferensiasi lebih bersifat kualitatif daripada kuantitatif. Banyak guru secara salah berasumsi bahwa mendiferensiasi pembelajaran berarti memberi beberapa murid lebih banyak pekerjaan untuk dilakukan, dan yang lainnya lebih sedikit. Menyesuaikan jumlah tugas biasanya akan kurang efektif daripada mengubah sifat tugas.

3.    Pembelajaran Berdiferensiasi berakar pada penilaian. Penilaian tidak lagi didominasi sesuatu yang terjadi pada akhir unit untuk menentukan "siapa yang mendapatkannya." penilaian diagnostik secara rutin akan dilakukan saat unit dimulai. Di sepanjang unit pembelajaran, guru menilai tingkat kesiapan, minat, dan pendekatan belajar yang digunakan murid dan kemudian merancang pengalaman belajar berdasarkan pemahaman terbaru dan terbaik tentang kebutuhan murid.

4.    Pembelajaran Berdiferensiasi menggunakan beberapa pendekatan terhadap konten, proses, dan produk. Dengan membedakan ketiga elemen ini, guru menawarkan pendekatan berbeda terhadap apa yang dipelajari murid, bagaimana mereka mempelajarinya, dan bagaimana mereka menunjukkan apa yang telah mereka pelajari. Kesamaan dari pendekatan yang berbeda ini adalah bahwa semuanya dibuat untuk mendorong pertumbuhan semua murid dalam usaha mereka mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.

5.    Pembelajaran berdiferensiasi berpusat pada murid. pembelajaran tersebut berhasil mengundang murid untuk terlibat, relevan, dan menarik bagi murid.

6.    Pembelajaran berdiferensiasi merupakan perpaduan dari pembelajaran seluruh kelas, kelompok dan individual. Ditandai oleh irama berulang dari melakukan persiapan kelas, mengulas kembali, dan berbagi, yang kemudian diikuti oleh kesempatan untuk eksplorasi individu atau kelompok kecil, ekstensi, dan produksi.

7.    Pembelajaran berdiferensiasi bersifat "organik" dan dinamis. Murid dan guru sama-sama pembelajar. Guru mungkin tahu lebih banyak tentang materi pelajaran, namun mereka juga terus belajar tentang bagaimana murid mereka belajar. Kolaborasi yang berkelanjutan dengan murid diperlukan untuk memperbaiki peluang belajar agar efektif untuk setiap murid.

Pembelajaran Berdiferensiasi ini selaras dengan filosofi Ki Hadjar Dewantara bahwa tujuan pendidikan yaitu: “menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Oleh sebab itu, pendidik itu hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak”.

Implementasi merdeka belajar, salah satunya adalah menerapkan pembelajaran berdiferensiasi. Jika ditinjau dari sudut pandang Ki Hadjar Dewantara, pembelajaran berdiferensiasi memiliki kesamaan dalam hal teknis, diantaranya pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang menekankan bahwa guru harus menuntun kodrat anak agar sebagai manusia mencapai kebahagiaan. Pemikiran Ki Hadjar yang Humanis dengan berpusat pada manusia sebagai mahluk yang bebas/ merdeka. Agar siswa menjadi apa yang diharapkan oleh Ki Hadjar maka guru harus menjadi fasilitator dengan menyesuaikan pada pemenuhan kebutuhan belajar siswa.

Pembelajaran berdiferensiasi pada murid TK Pertiwi Sedayu I menggunakan media lost part dengan kegiatan membuat berbagai bentuk menggunakan daun, kerikil, tutup botol, dan daun.

Pembelajaran berdiferensiasi pada murid TK Pertiwi Sedayu I menggunakan media lost part dengan kegiatan membuat berbagai bentuk menggunakan daun, kerikil, tutup botol, dan daun.




Sabtu, 05 Februari 2022

LAPORAN AKSI NYATA MODUL 1.4 BUDAYA POSITIF

PENDIDIKAN GURU PENGGERAK

Oleh:

Ririn Kurniasih, S.Pd.AUD

TK Pertiwi Sedayu I Kecamatan Pracimantoro

CGP Angkatan 4 Kabupaten Wonogiri


LATAR BELAKANG

Pendidikan menurut Ki hadjar Dewantara adalah menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Membangun budaya positif di sekolah sesuai dengan filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara yaitu pendidikan yang berpihak pada murid. Untuk membangun budaya yang positif, sekolah perlu menyediakan lingkungan yang positif, aman, dan nyaman agar murid-murid mampu berpikir, bertindak, dan mencipta dengan merdeka, mandiri, dan bertanggung jawab. Budaya positif bisa dimulai dari hal-hal kecil seperti belajar antri, merapikan mainan setelah selesai bermain, menyelesaikan tugas, datang ke sekolah tepat waktu, dan lain-lain.


TUJUAN

  • Menumbuhkan semangat belajar sesuai dengan profil pelajar Pancasila.
  • Menumbuhkan budaya positif di sekolah.
  • Murid merasa bahagia, aman, dan nyaman bermain di sekolah.
  • Melatih kecakapan hidup Anak Usia Dini.

TINDAKAN AKSI NYATA

  • Guru berkolaborasi dengan orang tua untuk menyamakan persepsi dan tujuan.
  • Menerapkan disiplin positif dari hal-hal kecil agar bisa diteladani murid-murid.
  • Menanamkan motivasi untuk menjadi orang yang bertanggungjawab dan menghargai diri sendiri.
  • Menerapkan posisi kontrol teman dan manajer sehingga murid dapat menjadi pribadi yang mandiri, merdeka, dan bertanggung jawab atas segala perilaku dan sikapnya, yang pada akhirnya dapat menciptakan lingkungan yang positif, nyaman, dan aman.
  • Bersama murid, membuat keyakinan kelas sebagai fondasi dan arah tujuan yang akan menjadi landasan dalam memecahkan konflik atau permasalahan di dalam kelas.
  • Guru menyediakan lingkungan belajar yang nyaman, aman, dan menyenangkan bagi murid.
  • Memberikan kegiatan belajar seraya bermain yang menyenangkan.
  • Memberikan kegiatan belajar untuk melatih kecakapan hidup anak usia dini.


HASIL TINDAKAN

  • Orang tua mendukung kegiatan di sekolah.
  • Murid-murid mulai menerapkan budaya positif.
  • Murid-murid belajar untuk tanggung jawab dan menghargai diri sendiri.
  • Murid semangat belajar, saling menyayangi dan nyaman bermain di kelas
  • Murid mentaati keyakinan kelas.

DOKUMENTASI

Murid antri untuk mencuci tangan

   

Murid bekerja sama membereskan mainan setelah selesai bermain


Murid mengerjakan tugas sampai selesai



Murid mengerjakan tugas BDR sendiri



Guru dan murid membuat kesepakatan kelas


Kegiatan bermain yang bervariasi dan menyenangkan


Belajar kecakapan hidup melalui kegiatan menanam sayuran



Belajar kecakapan hidup melalui kegiatan membuat minuman sendiri



Guru menghias kelas agar murid tidak bosan di kelas dan lebih semangat belajar


link video sesi berbagi aksi nyata: https://youtu.be/Sq_Hl18Usvo


Selasa, 21 Desember 2021

Koneksi Antar Materi Modul 1.4 Pendidikan Guru Penggerak

Modul 1.4 Paradigma dan Visi Guru Penggerak

Program Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 4

oleh: Ririn Kurniasih, S.Pd.AUD


Budaya positif di sekolah sangatlah penting untuk mengembangkan anak-anak yang memiliki karakter yang kuat, sesuai profil pelajar Pancasila. Pendidikan dapat menjadi ruang berlatih dan bertumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan yang dapat diteruskan atau diwariskan. Pendidikan itu hanya suatu ‘tuntunan’ di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Artinya, bahwa hidup tumbuhnya anak itu terletak di luar kecakapan atau kehendak pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk, manusia, dan benda hidup, sehingga mereka hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan-kekuatan kodrat anak, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak.

Peran saya dalam menciptakan budaya positif di sekolah dengan menerapkan konsep-konsep inti disiplin positif, motivasi perilaku manusia, posisi montrol restitusi, keyakinan kelas, dan segitiga restitusi.

1.       Disiplin Positif

Saya berusaha menerapkan disiplin positif dari hal-hal kecil agar bisa diteladani murid-murid.

2.      Motivasi Perilaku Manusia

Menanamkan motivasi untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya.

3.      Posisi Kontrol Restitusi

Menerapkan posisi kontrol teman dan manajer sehingga murid dapat menjadi pribadi yang mandiri, merdeka, dan bertanggung jawab atas segala perilaku dan sikapnya, yang pada akhirnya dapat menciptakan lingkungan yang positif, nyaman, dan aman.

4.      Keyakinan Kelas

Bersama murid, membuat keyakinan kelas sebagai fondasi dan arah tujuan yang akan menjadi landasan dalam memecahkan konflik atau permasalahan di dalam kelas.

5.      Segitiga Restitusi

      Menerapkan strategi segitiga restitusi sebagai salah satu cara menanamkan disiplin positif pada murid sebagai bagian dari budaya positif di sekolah agar menjadi murid merdeka.

Dalam membangun budaya positif tentunya tidak terlepas dari filosofi pemikiran Ki Hajar Dewantara, yaitu sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Seorang guru harus menerapkan nilai mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif, dan berpihak pada murid serta berperan menjadi pemimpin pembelajaran, kolaborasi dengan warga sekolah untuk terus berlatih meningkatkan kapasitas dirinya dalam memvisualisasikan harapan, menggandeng sesama dan mentransformasikannya menjadi harapan bersama. Dari sana, baru kemudian dilanjutkan dengan segala upaya gotong-royong yang diperlukan demi pencapaian visi atau masa depan murid. Jika budaya positif sudah tercipta, maka tidaklah sulit untuk mewujudkan profil pelajar Pancasila.

Setelah saya mempelajari paket modul 1 Paradigma dan Visi Guru Penggerak pada Program Pendidikan Guru Penggerak, saya telah mencoba menciptakan budaya positif di sekolah. Dengan mengambil pembelajaran dari pemikiran filosofis Ki Hadjar Dewantara saya mulai mengubah mindset. Murid itu sudah mempunyai kodratnya sendiri-sendiri. Tugas pendidik hanya menuntun anak menuju keselamatan dan kebahagiaan. Saya dapat menggali bakat dan minat anak, tidak hanya dalam bidang pengembangan kognitif saja. Saya juga mencoba mendalami dan mengenali karakter setiap anak. Dalam mengajar di Taman kanak-kanak saya akan berusaha memberikan permainan yang memberikan kebebasan pada anak, sehingga anak-anak dapat bermain dengan bahagia dan terwujud kepemimpinan murid.

Saya mempunyai mimpi di masa depan yaitu menjadi seorang guru yang dapat membawa murid2nya bahagia dan mengajak teman sejawat untuk selalu berkolaborasi. Untuk mewujudkan mimpi/ visi tersebut, strategi saya adalah sebagai berikut:

  1. Mengenali karakter dan minat anak
  2. Menerapkan filosofi Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.
  3. Menciptakan kegiatan belajar seraya bermain yang menyenangkan
  4. Mengembangkan diri untuk mendapatkan pengetahuan-pengatahuan tentang pendidikan.
  5. Aktif dalam kelompok kerja guru untuk saling tukar informasi dan mengembangkan kreativitas.
Selain itu saya juga mempunyai visi mengenai murid saya, yaitu Murid Kreatif Melalui Gerakan Numerasi Sekolah. Saya menyusun strategi perubahan berdasarkan pendekatan IA dengan tahapan B-A-G-J-A. strategi ini akan melibatkan guru, murid, dan orang tua yang akan saya mulai pada awal Semester Genap Tahun Pelajaran 2021/2022.






Rancangan untuk Tindakan Aksi Nyata


HUT IGTKI-PGRI KE-73, RIRIN: "TINGKATKAN KREATIVITAS DAN KEKOMPAKAN" 22 Mei 2023 Ikatan Guru Taman Kanak-kanak Indonesia Kecamatan...